Pages

29 August 2014

Hidup.



Entah berapa kali aku harus mengingatkannya, bahwa hidup itu tidak pernah rata. Bahwa hidup itu penuh lika-liku. Bahwa kita harus bersyukur atas apapun yang kita miliki. Bahwa kita harus senantiasa bersabar dan ikhlas atas setiap cobaan yang menghampiri. Bahwa masih ada hidup setelah hidup ini. Entah berapa kali aku harus mengingatkannya. Mengingatkan seseorang yang berambisi untuk mengakhiri hidupnya hanya karena perasaan kecewa yang bertahan sementara saja, pada akhirnya, semuanya pasti akan baik-baik saja.

“Kau tahu bagaimana cara agar aku cepat mati? Semalam aku mencarinya di internet tapi yang ku temukan hanyalah cara-cara yang menyakitkan seperti…”

“Hentikan!” potongku atas kalimat keputusasaannya yang terdengar seperti pengecut itu.

Ia terdiam. Kupandang wajahnya yang penuh beban. Wajahnya terlihat seperti veteran yang sudah hidup di dunia berpuluh-puluh tahun, berjuang meraih kemerdekaan untuk negaranya yang kini kemerdekaan itu telah diraih tetapi sedikit orang menghargai perjuangannya, saking banyaknya beban yang dirasakannya, padahal ia baru hidup di dunia ini selama 14 tahun. Aku tidak pernah mengerti beban seperti apa yang dirasakannya, ya, karena selama ini dia memang tidak pernah menceritakannya. Memilih untuk memendamnya sendiri, tapi mengungkapkan keputusasaannya di depan orang lain. Aneh.

Aku iba melihatnya. Melihatnya yang terus-terusan seperti ini. Terus-terusan berambisi untuk mengakhiri hidupnya di dunia, dan memilih untuk pindah ke alam lain sebelum waktunya. Memilih untuk meninggalkan aku, sahabatnya. Teringat saat dia pernah berkata kepadaku bahwa aku adalah sahabat yang paling bisa mengerti dirinya. Aku adalah sahabat sejatinya. Hanya akulah yang bisa mengerti dia. Hanya aku. Dia telah menganggapku sebagai seseorang yang berpengaruh besar di hidupnya. Dan aku merasa bersalah tiap kali melihatnya sedang bersedih. Sahabat macam apakah diriku? Tetapi apa yang bisa kulakukan selain melarangnya dan memintanya menghentikan perkataan bodohnya itu?

“Hey, kau jangan membunuh dirimu, ya! Masih cukup banyak orang yang menyayangimu, tidak seperti aku. Kau tidak pernah tahu, sebenarnya hidupku lebih parah daripada hidupmu, tapi aku tetap bersyukur” Ucapku disambut dengan  pandangan kabur karena adanya air mata yang akan keluar.
Aku menunduk, menghapus air mataku.
“Aku saja yang mati!” sahutku mencoba meredakan ambisinya.
“Tidak, kau tidak boleh mati! Kalau kau mati, aku bagaimana? Nanti siapa yang akan menemaniku? Siapa lagi yang menjadi sahabat sejatiku kalau bukan kamu? Kalau kau mati, aku juga mati!” katanya panik.
“Tidak! Tidak ada yang boleh mati sebelum waktunya. Kita harus bertahan, kuat, dan sabar. Janji?”
“Janji!”
---

Apakah kematian bisa menyelesaikan masalah? Mengapa begitu banyak orang membunuh dirinya hanya karena tertimpa sebuah masalah? Eh, bukan hanya sekedar masalah, bagi mereka, masalah besar. Bukankah setiap masalah pasti bisa diselesaikan? Apakah mereka tidak sadar, masih ada Tuhan yang lebih besar dari masalah itu? Begitu banyak orang nekat mengakhiri hidupnya hanya karena sebuah masalah yang sebenarnya hanyalah setitik coretan kecil di buku kehidupan. Sebelum mereka memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, harusnya mereka memikirkan apa yang akan terjadi setelah itu. Mereka pasti akan membuat banyak orang sedih,, karena ketegaannya mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis. Tuhan pasti akan kecewa mengetahui mereka yang membuang pemberianNya. 

Bagaimana jika Tuhan kelak bertanya…
“Kurang sempurna apakah hidup ini telah kubuat untukmu? Kau bisa menghirup oksigen dan aku tidak memungut biaya sepeserpun atas setiap hela oksigen yang kau hirup. Aku menciptakan tubuhmu dengan sempurna dan kau malah merusaknya. Kau membuang pemberianku hanya karena setitik cobaan yang tidak sebanding dengan kasih sayang dan nikmat yang selama ini ku berikan untukmu.”
Bagaimana mereka akan menjawab pertanyaan itu? 

1 comment:

Tell me what you think :)