Cerita ini diawali dengan kesedihan
yang mendalam karena patah hati. Merasakan luka mendalam dan perasaan kecewa.
Entah, apakah dia yang jahat, atau aku yang bodoh. Mengharapkan seseorang yang
telah mempunyai pilihan. Menjadi pendengar setia curahan hatinya tentang
pilihannya, sambil terus berharap ia akan jatuh cinta denganku.
Ternyata, move on tidak semudah yang
ku kira. Aku lelah terus mengorbankan perasaanku, sebelum perasaan itu
dihargai. Tetapi, aku tidak pernah lelah untuk berharap. Itu semua, karena aku
mencintainya.
Sempat terbesit di pikiranku untuk
mengakhiri hidup ini hanya karena perasaan terpendam yang sangat menyiksa
batin. Perasaan cinta terhadap seseorang yang tak pernah menghargaiku sama
sekali.
Hmm, aku hanya
tidak bisa mengatasi masalah ini.
Aku tidak boleh
menyerah begitu saja.
Aku punya dua
pilihan. Menunggu sampai dia jatuh cinta denganku seperti orang bodoh… atau…
melupakannya begitu saja dan meyakini bahwa Tuhan tahu yang terbaik.
Sahabat macam apa itu? Tega melukai
perasaan sahabatnya sendiri. Mengapa saat itu ia mendekatiku kemudian membuatku
jatuh cinta kalau pada akhirnya kita hanya akan menjadi sebatas sahabat saja?
Haruskah aku senang, karena persahabatan adalah satu-satunya cara agar aku bisa
dekat dengannya, atau sedih, karena kita akan terus menjadi sahabat, dan tidak
akan bisa menjadi lebih dari itu? Tetapi hidup terus berjalan.
Dan aku mempunyai
dua pilihan. Merelakannya, atau tetap menunggunya.
Ah, kenyataan memang pahit. Jatuh
cinta dengan sahabat sendiri, sedangkan sahabat kita jatuh cinta dengan orang
lain, dan terus-terusan bercerita tentang orang yang dicintainya. Harus
benar-benar sabar, dan bertindak seakan-akan semuanya baik-baik saja. Sadarkah
kau, telingaku panas saat kau bercerita tentang dia. Mataku sakit saat membaca
teks darimu, yang kuharapkan adalah tulisan-tulisan indah tentangku, tapi
nyatanya tentang dia. Sadarkah kau, sahabatmu ini jatuh cinta denganmu! Bahkan
sahabatmu telah mencintaimu sebelum dia menjadi sahabatmu. Sadarkah kau? Kau
terlalu buta untuk semua itu.
Aku lelah
terus-terusan seperti ini. Aku lelah, sahabat. Jika saja aku tidak punya
perasaan apa-apa, mungkin aku tak akan bertahan sejauh ini. Apalagi,
mempertahankan sesuatu yang bukan milikku sendiri.
Ingin sekali aku seketika pergi dan
menghilang dari kehidupanmu–dan kau tidak akan merasakan kehilangan. Meskipun terkadang aku selalu merindukan senyummu,
yang membuatku enggan pergi. Ketika hati
yang egois ini masih ingin bersamamu, melalui hari bersamamu, meskipun aku
hanyalah tidak lebih dari sebatas sahabat bagimu.
Bisa kita tukar posisi? Kau menjadi
seseorang yang setiap hari terluka karena perasaan yang kau pendam terhadap
sahabatmu sendiri, dan aku, menjadi seseorang yang setiap hari baik-baik saja.
Menjalani hidup dengan semangat karena mempunyai seseorang yang kita cintai,
serta sahabat yang setia mendengarkan curahan hatiku.
Sahabat, jika aku menjadi dirimu, aku
takkan melukaimu seperti kau melukaiku. Kau membuatku bahagia ketika harus
duduk berdampingan denganmu, tapi juga membuatku terluka secara perlahan. Kau
ambil seluruh ruang di hatiku, membuatku berpikir kau satu-satunya orang paling
sempurna yang pernah kutemui. Membuatku berpikir luka pahit yang menyakitkan
ini adalah sesuatu yang manis.
Ku harap kita
bisa bertukar posisi, agar kau sadar apa yang kurasakan, berharap kau mau
berbalik hati. Tapi di sisi lain, aku tidak mau kau merasakan penderitaan yang
sama sepertiku. Aku tidak mau kau terluka. Aku tidak mau kau merasakan sakitnya
memendam perasaan cinta untuk seseorang yang tak pernah menghargaimu. Ini
terlalu sakit untukku, terlebih lagi untukmu. Aku hanya tidak mau melihatmu –orang yang kucintai terluka.
Sahabat, mungkinkah aku yang bodoh?
Berharap kau mengerti semuanya tanpaku mengatakannya padamu? Ya, mungkin aku
bodoh. Tak salah jika kau tak pernah mengerti. Tak salah jika kau terus dan
terus melukaiku. Tak salah jika kau tak sadar. Bagaimana aku bisa mengatakan semuanya, ketika
melihat sosokmu saja hatiku sudah berdebar-debar? Apalagi ketika kau berbicara
padaku, jantung ini semakin cepat berdetak. Itu masih belum seberapa. Ketika kau
tersenyum, kau membuat hatiku luluh. Membuatku nyaman bersamamu sebagai
sahabat, meskipun hatiku menginginkan lebih. Memberiku harapan –mengetahui kau tersenyum saat bersamaku.
Bagaimana jika aku harus mengatakan
semuanya kepadamu? Sedangkan menatap mata indahmu saja membuatku detak jantungku tak karuan. Jika aku mengatakan semuanya, mungkin kau akan mengenangku
sebagai sosok paling bodoh yang pernah kau kenal. Seseorang yang rela menyakiti dirinya sendiri, setelah mengatakan perasaannya kepada seseorang yang sudah jelas-jelas
tidak memiliki perasaan yang sama.
Jika saja aku tidak berpikir sejauh
itu, mungkin kan ku biarkan mulutku melontarkan kata-kata semauku dan ku
biarkan kau melukaiku. Sudah sepantasnya aku terluka. Ini memang salahku.
Mengapa cinta
bahkan ada? Mengapa cinta bahkan diciptakan? Mengapa aku harus jatuh cinta?
***
No comments:
Post a Comment
Tell me what you think :)