Terlalu jelas saat
dimana bayangmu tak lagi hadir. Mungkin waktu telah menerkamnya. Membakar
bayangmu, jadikannya serpihan abu kenangan. Abu yang beku, yang takkan rusak
walau diterpa angin. Menyisakan jejak hitam yang sulit dihapus. Serpihan
kenangan yang terlalu indah untuk disingkirkan, tapi terlalu menyakitkan jika
dibiarkan mengotori. Serpihan yang menyiksa ketika rindu mulai datang menusuk
batin. Yang mengharuskan diri membunuh rindu-rindu tak bersalah itu ketika
seharusnya dinikmati. Tapi rindu itu semakin dalam, semakin menyakitkan.
Seberkas cahaya
memantulkan bayangmu membayangi hatiku, membuat semuanya gelap, seakan-akan
matahari siang yang bersinar terang sedang menangis dan jadikan sinarnya
tetesan-tetesan panas melelehkan. Kenapa ini semua tak pernah sampai? Aku
bagaikan sebatang kayu, dengan isyarat yang tak sampai kepada api yang
menjadikannya abu. Bagaikan segumpal awan, dengan isyarat yang tak sampai
kepada hujan yang menjadikannya tiada. Bagaikan sekotak es, dengan isyarat yang
tak sampai kepada panas yang menghancurkan sosoknya.
Butiran pasir halus
menjadi saksi, atas datangnya panah rindu berujung runcing yang dengan kuatnya
menghunjam batin. Gulungan ombak yang semakin keras menghantam seakan-akan
mengerti semua. Terlihat orang-orang di tengah sana, menaiki sebilah papan,
mencoba melawan kerasnya hantaman sang ombak. Seperti diriku, yang meluapkan
semuanya dengan air mata, mencoba melawan hunjaman panah rindu. Di ujung sana,
ombak itu mampu mengalahkan mereka, menggulung dengan sadis tubuh mereka ke
laut, karena angin terus bertiup. Dan ya, rindu itu mampu mengalahkanku,
menusuk dengan sadis batin ini, karena cinta kepadamu yang terus mengalir dan
tak pernah berhenti.
No comments:
Post a Comment
Tell me what you think :)