Entah berapa kali aku harus mengingatkannya, bahwa hidup itu
tidak pernah rata. Bahwa hidup itu penuh lika-liku. Bahwa kita harus bersyukur
atas apapun yang kita miliki. Bahwa kita harus senantiasa bersabar dan ikhlas
atas setiap cobaan yang menghampiri. Bahwa masih ada hidup setelah hidup ini.
Entah berapa kali aku harus mengingatkannya. Mengingatkan seseorang yang
berambisi untuk mengakhiri hidupnya hanya karena perasaan kecewa yang bertahan
sementara saja, pada akhirnya, semuanya pasti akan baik-baik saja.
“Kau tahu bagaimana cara agar aku cepat mati? Semalam aku
mencarinya di internet tapi yang ku temukan hanyalah cara-cara yang menyakitkan
seperti…”
“Hentikan!” potongku atas kalimat keputusasaannya yang
terdengar seperti pengecut itu.
Ia terdiam. Kupandang wajahnya yang penuh beban. Wajahnya
terlihat seperti veteran yang sudah hidup di dunia berpuluh-puluh tahun,
berjuang meraih kemerdekaan untuk negaranya yang kini kemerdekaan itu telah
diraih tetapi sedikit orang menghargai perjuangannya, saking banyaknya beban
yang dirasakannya, padahal ia baru hidup di dunia ini selama 14 tahun. Aku
tidak pernah mengerti beban seperti apa yang dirasakannya, ya, karena selama
ini dia memang tidak pernah menceritakannya. Memilih untuk memendamnya sendiri,
tapi mengungkapkan keputusasaannya di depan orang lain. Aneh.
Aku iba melihatnya. Melihatnya yang terus-terusan seperti
ini. Terus-terusan berambisi untuk mengakhiri hidupnya di dunia, dan memilih
untuk pindah ke alam lain sebelum waktunya. Memilih untuk meninggalkan aku,
sahabatnya. Teringat saat dia pernah berkata kepadaku bahwa aku adalah sahabat
yang paling bisa mengerti dirinya. Aku adalah sahabat sejatinya. Hanya akulah
yang bisa mengerti dia. Hanya aku. Dia telah menganggapku sebagai seseorang
yang berpengaruh besar di hidupnya. Dan aku merasa bersalah tiap kali
melihatnya sedang bersedih. Sahabat macam apakah diriku? Tetapi apa yang bisa
kulakukan selain melarangnya dan memintanya menghentikan perkataan bodohnya
itu?
“Hey, kau jangan membunuh dirimu, ya! Masih cukup banyak
orang yang menyayangimu, tidak seperti aku. Kau tidak pernah tahu, sebenarnya
hidupku lebih parah daripada hidupmu, tapi aku tetap bersyukur” Ucapku disambut
dengan pandangan kabur karena adanya air
mata yang akan keluar.
Aku menunduk, menghapus air mataku.
“Aku saja yang mati!” sahutku mencoba meredakan ambisinya.
“Tidak, kau tidak boleh mati! Kalau kau mati, aku bagaimana?
Nanti siapa yang akan menemaniku? Siapa lagi yang menjadi sahabat sejatiku
kalau bukan kamu? Kalau kau mati, aku juga mati!” katanya panik.
“Tidak! Tidak ada yang boleh mati sebelum waktunya. Kita
harus bertahan, kuat, dan sabar. Janji?”
“Janji!”
---
Apakah kematian bisa menyelesaikan masalah? Mengapa begitu
banyak orang membunuh dirinya hanya karena tertimpa sebuah masalah? Eh, bukan
hanya sekedar masalah, bagi mereka, masalah besar. Bukankah setiap masalah
pasti bisa diselesaikan? Apakah mereka tidak sadar, masih ada Tuhan yang lebih
besar dari masalah itu? Begitu banyak orang nekat mengakhiri hidupnya hanya karena
sebuah masalah yang sebenarnya hanyalah setitik coretan kecil di buku
kehidupan. Sebelum mereka memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, harusnya mereka
memikirkan apa yang akan terjadi setelah itu. Mereka pasti akan membuat banyak
orang sedih,, karena ketegaannya mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis.
Tuhan pasti akan kecewa mengetahui mereka yang membuang pemberianNya.
Bagaimana jika Tuhan kelak bertanya…
“Kurang sempurna
apakah hidup ini telah kubuat untukmu? Kau bisa menghirup oksigen dan aku tidak
memungut biaya sepeserpun atas setiap hela oksigen yang kau hirup. Aku
menciptakan tubuhmu dengan sempurna dan kau malah merusaknya. Kau membuang
pemberianku hanya karena setitik cobaan yang tidak sebanding dengan kasih
sayang dan nikmat yang selama ini ku berikan untukmu.”
Bagaimana mereka akan menjawab pertanyaan itu?
I'm so touched and motivated.. so amazing :)
ReplyDelete